Senin, 04 Januari 2010

Tafsir Ahkam

TAFSIR AHKAM
Larangan Menghina dalam Al-Qur’an
A. PENDAHULUAN
1. Kata Kunci
Kata kunci dari “Larangan Menghina dalam Al-Qur’an” adalahسخر dan setelah penulis lacak didalam Al-Mu’jam Al-Mufaras karangan Muhammad Fuad Abdul Bagi, ditemukan 10 buah kata kunci. Namun setelah penulis teliti dengan cermat, ternyata Yang berhubungan dengan topik Larangan Menghina dalam Al-Qur’an adalalah satu ayat.
Dalam pembahasan topik larangan Menghina dalam Al-Qur’an, penulis akan menjelaskan dulu pengertian dari topik tersebut.
2. Pengertian
Menurut bahasaسخر berarti “mengejek, mencemoohkan, menghina”.
Pengertian dalam Islam tentang penghinaan itu memiliki pengertian yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus mengidentifikasikan dahulu kata penghinaan dengan lafadz arabnya, sedangkan hal-hal yang tercakup dalam arti penghinaan itu lafadnya berbeda-beda. Penghinaan itu berasal dari kata “hina” yang artinya :
a. Merendahkan, memandang redah atau hina dan tidak penting terhadap orang lain.
b. Menjelekan/memburukan nama baik orang lain, menyinggung perasaannya dengan cara memaki-maki atau menistakan seperti dalam tulisan surat kabar yang dipandang mengandung unsur menghina terhadap orang lain


Menurut Al Ghozali bahwa penghinaan adalah :
“Menghina orang lain dihadapan manusia dengan menghinakan dirinya di hadapan Allah Swt. pada Malaikat dan Nabi-nabinya. Jadi intinya penghinaan adalah merendahkan dan meremehkan harga diri serta kehormatan orang lain di hadapan orang banyak”.
Yang dimaksudkan dengan penghinaan ialah memandang rendah atau menjatuhkan martabat seseorang, ataupun mendedahkan keaiban dan kekurangan seseorang dengan tujuan menjadikannya bahan ketawa. Ini boleh berlaku dengan menceritakan perihal orang lain dengan tutur kata, perbuatan, isyarat ataupun dengan cara lain yang boleh membawa maksud dan tujuan yang sama. Tujuannya ialah untuk merendahkan diri orang lain, menjadikannya bahan ketawa, menghina dan memperkecilkan kedudukannya di mata orang ramai dan hukumnya adalah haram .
Dari pendapat tersebut di atas, dapat penulis ambil pengertian bahwa penghinaan adalah mengganggap rendah derajat orang lain. Cara ini baik dilakukan dengan percakapan, perbuatan ataupun isyarat yang menunjukan kearah tersebut.

3. Ayat yang berhubungan Dengan Tema larangan Menghina dalam Al-Qur’an
Setelah penulis telusuri ayat yang berkaitan dengan tema adalah Surat Al-Hujurat ayat 11 dengan nomor kronologis turunnya ayat tersebut adalah 106.
B. PEMBAHASAN
Selanjutnya, disini akan dituangkan ayat-ayat yang berhubungan dengan topic yaitu:

Surat Al-hujurat ayat 11:
                                          

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Hujurat: 11)


1. Tafsir Al’Mufradat
As-Syukhriyah: mengolok-olok, menyebut-nyebut aib dan kekurangan-kekurangan orang lain dengan cara yang menimbulkan tawa.
   
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah berolok-olok)

(Suatu kaum)
  
(kepada kaum yang lain karena boleh jadi mereka yang yang diolok-olok lebih baik dari pada mereka yang memperolok-olok)

(dan jangan pula wanita-wanita)
   
(memperolok-olok waita-wanita lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olok lebih baik dari pada wanita-wanita yang mengolok-olok dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri)

 
(dan janganlah kalian panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk)

(seburuk-buruk nama)
 
(ialah nama yang buruk sesudah iman)

(dan barang siapa yang tidak bertobat)
 
(maka mereka itulah orang-orang ynag zholim)

2. Ashabun Nuzul
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi dari dari Bani Tamin sewaktu mereka mengejek orang-orang muslim yang miskin, seperti. Seperti Ammar Ibnu Yasir dan Suhaib Ar-Rumi.
3. Tafsir Surat Al-Hujurat ayat 11
Selanjutnya akan dikemukakan tafsiran-tafsiran ayat yang berkenaan dengan topik menurut para mufasir:
a. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar:
Ayat ini pun akan jadi peringatan dan nasehat sopan-santun dalam pergaulan hidup kepada kaum yang beriman. Itu pula sebabnya maka dipangkal ayat orang-orang yang beriman juga yang berseru: “Janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain”. Mengolok-olokkan, mengejek, menghina merendahkan dan seumpamanya. Janganlah semuanya itu terjadi dalam kalangan orang yang beriman.
Boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebih baik dari mereka yang mengolok-olokan. Inilah peringantan yang halus dan tepat sekali dari Tuhan. Mengolok-olok, mengejek dan menghina tidaklah layak dilakukan kalau orang merasa dirinya orang yang beriman. Sebab orang yang beriman akan selalu memiliki kekurangan yang ada pada dirinya. Maka dia akan tahu kekurangan yang ada pada dirinya itu. Hanya orang yang tidak beriman jualah yang lebih banyak melihat kekurangan orang lain dan tidak ingat akan kekurangan orang lain dan tidak ingat akan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri.
b. Menurut Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi:
Janganlah beberapa orang dari orang-orang mukmin mengolok-olok orang-orang mukmin lain. Sesudah itu Allah menyebutkan alasan, kenapa hal itu tak boleh dilakukan. Karena kadang-kadang orang yang diolok-olok itu lebih baik disisi Allah dari pada orang-orang yang mengolok-oloknya.
Barang kali orang-orang yang berambut kusut penuh debu tidak punya apa-apa dan tidak dipedulikan, sekiranya ia bersumpah dengan menyebut nama Allah Ta’ala, maka allah mengabulkannya.
Maka seyogyanyalah agar tidak seorang pun yang berani mengolok-olok orang lain yang ia pandang hina karena keadaannya yang compang-camping atau karena ia cacat pada tubuhnya atau karena ia tidak lancar bicara. Karena, barang kali ia lebih ikhlas nuraninya dan lebih bersih hatinya daripada orang yang sifatnya tidak seperti itu. Karena dengan demikian berarti ia menganiaya dirinya sendiri dengan menghina orang lain yang dihormati Allah Ta’ala.
c. Menurut Teungku M. Hasbi Ask Shiddiqy dalam Tafsir Al-Qur’anul Ma’id jilid V:
Janganlah suatu golongan menghina segolongan yang lain, baik dengan membeberkan keaiban golongan-golongan itu dengan cara mengejek atau dengan cara menghina, baik dengan perkataan ataupun dengan isyarat atau dengan mentertawakan orang yang dihina itu bila timbul sesuatu kesalahan.
Karena boleh jadi orang yang dihinakan itu lebih baik di sisi Allah dari pada orang yang menghinanya.
Jangan pula segolongan wanita menghina dan mengejek golongan wanita yang lain, karena kerap kali golongan yang dihina itu lebih baik disisi Allah.
Janganlah kamu saling mencela, baik dengan perkataanng telah memel, baikpun isyarat atau dengan mencibir.
Allah memberi peringatan bahwa mencela orang yang lain sama dengan mencela diri sendiri. Hal ini mengingat bahwa sekalian mukmin itu dipandang satu tubuh, yang apabila sakit salah satu anggotanya, maka seluruh tubuhnya merasa sakit pula.
Janganlah sebagian kamu memanggil sebagian yng lain dengan gelaran-gelaran buruk, umpamanya; “Hai munafik! Hai Fasik! Atau dia mengatakan kepada orang-orang yang telah memeluk Islam: Hai Yahudi, Hai Nasrani”.
Seburuk-buruk sebutan yang dipakai untuk memanggil seseorang yang sudah beriman, ialah dengan memanggilnya nama fasik.
Semua ulama berpendapat haram kita memanggil seseorang yang dengan gelar yang tidak disenangi, baik dengan menyebut suatu sifat yang tidak disenangi, baik sifatnya sendiri atau sifat orang tuanya, ataupun sifat keluarganya.
d. Menurut Tim UIN dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid IX Juz 25-27:
Dalam ayat yang tersebut Allah menerangkan bagaimana seharusnya sikap dan akhlak orang-orang mukmin terhadap Nabi SAW dan terhadap orang munafik, maka pada ayat berikut ini Allah menjelaskan bagaiman sebaiknya pergaulan orang-orang mukmin ditengah-tengah kaum mukminin sendiri. Diantaranya mereka dilarang memperolok-olokkan saudara mereka, memanggil mereka dengan gelar-gelar yang buruk dan berbagai tindakan yang menjurus kearah permusuhan dan kezholiman.
Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan itu tidak dilarang, seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan As-Siddiq, kepada Umar dengan Faruq, kepada Usman dengan sebutan Zun Nur Ain, dan kepada Ali dengan sebutan Abu Turab. Dan kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah.
Panggilan yang buruk dilarang diucapkan sesudah orangnya beriman karena gelar-gelar buruk itu mengingatkan kepada kedurhakaannya yang sudah lewat, yang sekarang tidak pantas lagi dilontarkan kepada orangnya setelah ia beriman. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka itu dicap oleh Allah SWT sebagai orangorang yang zolim terhadap diri mereka sendiri dan pasti akan menerima konsekwensinya berupa azab dari Allah pada hari kiamat.
e. Menurut Imam Jalaludiddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Syuti dalam Tafsir Jalalain:
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah berolok-olok) dan seterusnya, ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi dari Bani Bani Tamin sewaktu mereka mengejek orang-orang muslim yang miskin, seperti. Seperti Ammar Ibnu Yasir dan Suhaib Ar-Rumi.
As-Sukhhiriyah artinya merendahkan dan menghina (suatu kaum) yakni sebagian di antara kalian (kepada kaum yang lain karena boleh jadi mereka yang diolokolok-lebih baik daripada mereka-yang mengolokolokkan) disisi Allah
(Dan jangan pula wanita-wanita) diantara kalian mengolok-olok (wanita-wanita lain-karena-boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokan- lebih baik dari pada wanita-wanita yang mengolok-olokan-dan janganlah kalian mencela diri kalian sendiri) artinya janganlah kalian mencela, maka karenanya kalian akan dicela; makna yang dimaksud janganlah sebagian dari kalian mencela sebagian yang lain
(Dan janganlah kalian panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk) yaitu janganlah sebagian diantara kalian memanggil sebagian yang lain dengan nama julukan yang tidak disukainya, antara lain seperti: Hai orang fasik, atau hai orang kafir, yaitu memperolok-olokan orang lain, mencela dan memanggil dengan jukukan yang buruk (ialah nama yang buruk sesudah iman) lafaz al-fusuk merupakan badal dari lafaz al-ismu, karena sama panggilan yang dimaksud memberikan pengertian fasik, juga karena nama panggilan itu biasanya diulang-ulang ( dan barang siap yang tidak bertobat) dari perbuatan tersebut (maka mereka itulah orang-orang yang zalim).
f. Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah Volume 13
Setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan islah akibat pertikaian yang muncul, ayat diatas memberi petunjuk tenang beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. Allah berfirman memanggil kaum beriman dengan panggilan mesra: “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum yakni kelompok pria mengolok-olok kelompok pria yang lain”, karena hal tersebut dapat menimbulkan pertikaian-walau yang diolok-olok kaum yang lemah- apabila boleh jadi mereka yang diolok-olok itu lebuh baik dari mereka yang mengolok-olok sehingga dengan demikian yang berolok-olok melakukan kesalahan berganda.
Pertama mengolok-olok lebih baik dari mereka; dan jangan pula wanita-wanita yakni mengolok-olok terhadap wanita-wanita lain karena ini menimbulkan keretakan hubungan antara mereka, apabila boleh jadi mereka yakni wanita yang mengolok-olok itu dan janganlah kamu mengejek siapapun-secara sembunyi-sembunyi-dengan ucapan, perbuatan atau isyarat karena ejekan itu akan menimpa diri kamu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang dinilai buruk oleh yang kamu panggil-walau kamu menilainya benar dan indah- baik kamu yang menciptakan gelarnya maupun orang lain. Seburuk-buruk panggilan ialah panggilan kefasikan yakni panggilan buruk setelah beriman.
Siapa yang bertaubat sesudah melakukan hal-hal buruk itu, maka mereka adalah orang-orang yang menelusuri jalan lurus dan barang siapa tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim dan mantap kezalimannya dengan menzalimi orang lain serta dirinya sendiri.
g. Menurut Penulis
Dalam ayat ini diterangkan bahwa orang-orang yang mukmin baik laki-laki ataupun perempuan dilarang mengejek dan menghina baik menyebutkan cacat ataupun kekurangannya atau menertawakan perbuatan dan perkataannya antara satu mukmin dengan mukmin lainnya. Karena mungkin orang yang berbuat begitu lebih rendah dari orang yang dihinakan, sedangkan manusia itu di sisi Allah Swt. dianggap sama.Di samping caci maki terhadap yang hidup, maka orang yang matipun juga dilarang dicaci maki.
Memberi nasehat serta mencintai kebaikan mereka serta tidak menghina dan tidak menipu mereka. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
Artinya: “Tidaklah seorang di antara kamu beriman sehingga ia mencintai saudaranya melebihi cintanya terhadap dirinya sendiri".

Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

Artinya: “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain; tidak meremehkannya, dan tidak menghinanya serta tidak menyerahkannya (kepada musuh), betapa buruknya jika seorang menghina (meremehkan) saudaranya yang muslim; segala yang ada pada seorang muslim adalah haram pada muslim lainnya baik darahnya, hartanya, dan harga dirinya".

Dan besabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya: “Janganlah kalian saling membenci, saling bermusuhan, saling memata-matai dan janganlah sebagian kamu menjual (berakad) terhadap (akad) lainnya, jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara".
Dari riwayat diatas, dapat kita pahami bahwa Rasul pun menekankan pada umatnya bahwa kita umat Islam adalah satu tubuh dan saling bersaudara. Sehingga jika satu sakit maka yang lain juga ikut merasakan dan membantu umat Islam tersebut. Bukan dengan saling menghina antara sesama. Bahkan rasulullah SAW, menyampaikan bahwa tidak beriman seseorang sehingga ia mencintai saudaranya melebihi cinta kepada diri sendiri.
Menghormati dan memuliakan mereka serta tidak mengurangi kehormatan mereka merupan perbuatan yang mulia dan sangant besar pahalanya.
Sesama Muslim senantiasa menyertai baik dalam keadaan sulit maupun lapang. Berbeda dengan orang-orang munafik yang hanya menyertai orang-orang yang beriman dalam keadaan mudah dan senang saja dan meninggalkan mereka dalam keadaan susah. Oleh karena itu, kita, di tekankan oleh Allah SWT serta Hadits Nabi SAW, agar selalu menjaga ukhuwah Islamiyah, sehingga bisa saling tolong menolong dalam kebaikan.
Dampak dari perbuatan menghina itu tidak hanya berakibat pada orang yang dihina saja, tetapi juga pada orang yang penghina dan juga terhadap orang lain (masyarakat). Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Al-Anfal ayat 25, yang berbunyi:
•   •           

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah Amat keras siksaan-Nya. Q.S. Al-Anfal: 25

Oleh karena itu, kita disuruh agar menjauhi perbuatan yang tercela ini. Sehingga berbagai dampak negative yang akan ditimbulkan dapat hilang. Sesungguhnya Islam telah memelihara dan menjaga kemaslahatan yang telah nyata dan bukan kemaslahatan-kemaslahatan yang berdasarkan hawa nafsu. Kemaslahatan yang ada pada perbuatan itu sendirinya serta berlangsung secara terus-menerus maupun kemaslahatan yang hanya berdasarkan waktu.
Kemaslahatan yang dipelihara oleh Islam mengenai penetapan hukuman bagi pelanggarnya itu akan berkisar pada lima pokok, seperti pendapat Musthofa Husni Assiba’i, yaitu: “Melindungi agama, jiwa, akal pikiran, keturunan serta harta benda. Setiap segala sesuatu perbuatan yang tujuannya untuk menjamin terlindunginya hal-hal yang lima tersebut, maka dipandang sebagai kemaslahatan dan yang menentang lima perkara tadi dipandang sebagai pengrusakan”.
Sedangkan bentuk penodaan kehormatan yang paling berat adalah menuduh orang-orang mukmin perempuan yang terpelihara telah melakukan kemesuman (zina). Karena tuduhan tersebut akan membawa bahaya yang besar kalau mereka yang dituduh itu mendengarkan dan juga didengar oleh keluarganya serta oleh orang yang suka menyebar berita kejahatan di tengah-tengah masyarakat Islam. Sehingga Allah mengancamnya dengan hukuman yang berat
•             

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”. (Q.S. An-Nur: 23)
Dengan adanya penjagaan terhadap kehormatan manusia ini timbullah kemerdekaan mengemukakan dan lain sebagainya yang masih dalam lingkup kehidupan manusia. Sedangkan pemeliharaan terhadap kehormatan itu termasuk dalam tingkatan kedua yaitu pemeliharaan jiwa. Hal ini telah dituangkan oleh kaidah hukum Islam yang artinya “Tidak boleh memberi mudlorot kepada orang lain dan tidak membalas kemudlaratan dengan suatu kemudlaraan”.
Dengan demikian jelaslah bahwa larangan penghinaan (fitnah) itu erat kaitannya dengan menjaga kehormatan dalam hukum Islam. Oleh karena itu setiap orang wajib memelihara dan menjaga kehormatan orang lain. Sebab hal tersebut dapat menimbulkan rasa ketenangan dan ketentraman bagi masyarakat, sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berbahasa, tertulis maupun lisan, secara baik. Ini karena pemakaian bahasa yang baik akan mendatangkan kebaikan, tidak saja kepada orang lain tetapi juga kepada dirinya sendiri.
Sebaliknya pemakaian bahasa yang buruk atau jahat juga akan mendatangkan keburukan atau kejahatan, yang pada akhirnya akan kembali kepada dan dirasakan oleh dirinya sendiri.
                   •     •
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. QS Al-Isra': 7).
Bahasa atau perkataan yang baik diibaratkan oleh Allah dalam QS Ibrahim 24-25 laksana sebuah pohon yang baik. Akarnya kuat, sehingga mampu menyimpan air dan menahan tanah dari erosi.
Cabang-cabangnya menjulang ke langit, sehingga bisa menjadi tempat berteduh dan memberikan kesejukan dan kenyamanan kepada orang yang berada di sekitarnya. Dan pada setiap musim mengeluarkan buahnya untuk dikonsumsi oleh manusia.
Belajar dari ibarat itu, seorang muslim harus senantiasa memperhatikan kualitas pemakaian bahasanya, baik isi maupun cara menyampaikannya. Kepada siapa ia berbicara, apakah kepada orang tua, guru, teman, bahkan orang yang belum dikenal sekalipun, ia harus bisa menjaga ucapannya.
Bahkan dalam melakukan dakwah, Islam sangat menekankan penggunaan bahasa yang baik, yaitu berupa sikap bijaksana, nasihat dan argumen yang baik (QS An-Nahl: 125). Rasulullah tidak pernah mencerca kaum musyrik yang dengan kasar dan angkuh menolak dakwahnya. Sebaliknya beliau justru memohonkan ampunan dan kebaikan bagi mereka karena mereka tidak tahu.
Selain itu, tingkat keimanan kita ditentukan salah satunya oleh pemakaian bahasa dalam segala aspek kehidupan. Kalau kita tidak mampu berbahasa secara baik, kalau ucapan kita akan membuat orang lain sakit hati, marah, merasa kecil hati, dipojokkan ataupun dipermalukan, misalnya, maka kita dianjurkan lebih baik diam.
Betapa banyak persahabatan menjadi permusuhan dan betapa banyak kawan menjadi lawan hanya gara-gara pemakaian bahasa yang tidak sepatutnya.
Maka sungguh tepat sabda Rasulullah, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berkata yang baik atau diam". (HR Bukhari dan Muslim). Atau dalam sabdanya yang lain, "Semoga Allah memberi rahmat orang yang baik bicaranya dan dengannya ia memperoleh keuntungan atau diam dan dengannya ia selamat."
Abu al-Hasan Ali al-Nashri al-Mawardi mengemukakan empat syarat dalam berbicara, yaitu
1. ada perlunya berbicara,
2. pada waktu dan tempatnya,
3. berbicara secukupnya, dan
4. diungkapkan dengan bahasa yang baik
oleh karena itu, kita dilarang dalam Al-Qur’an memperolok-olok sesame kita. Sebab dampak buruk dari perbuatan buruk kita, kita juga yang akan merasakan dampaknya. Sehingga kita sebaliknya disuruh menggunakan bahasa yang baik dan tidak kasar, sehingga tidak menyinggung orang lain. Dan persatuan umat Islam dapat terwujud. Jika ada perselisihan antara Islam dan Islam dapat diselesaikan dengan baik. Sebagai mana Firman Allah:
       •   
orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al-Hujurat: 10)

C. PENUTUP
a. Kesimpulan
Yang dimaksudkan dengan penghinaan ialah memandang rendah atau menjatuhkan martabat seseorang, ataupun mendedahkan keaiban dan kekurangan seseorang dengan tujuan menjadikannya bahan ketawa. Ini boleh berlaku dengan menceritakan perihal orang lain dengan tutur kata, perbuatan, isyarat ataupun dengan cara lain yang boleh membawa maksud dan tujuan yang sama. Tujuannya ialah untuk merendahkan diri orang lain, menjadikannya bahan ketawa, menghina dan memperkecilkan kedudukannya di mata orang ramai.
Hukumnya adalah haram. Larangan menghina atau mengejek ini jelas dinyatakan di dalam Al-Qur’an sebagaimana firman Allah Ta‘ala:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sesuatu puak (dari kaum lelaki) mencemuh dan merendah-rendahkan puak lelaki yang lain, (kerana) harus puak yang dicemuhkan itu lebih baik daripada mereka; dan janganlah pula sesuatu puak dari kaum perempuan mencemuh dan merendah-rendahkan puak perempuan yang lain, (kerana) harus puak yang dicemuhkan itu lebih baik daripada mereka.” (Q.S. Al-Hujuraat ayat 11)
Termasuk di antara perbuatan menghina yang diharamkan itu ialah memanggil dengan panggilan atau gelaran yang tidak baik, yang tidak sedap didengar oleh orang yang kena panggil, di mana panggilan itu membawa kepada suatu bentuk penghinaan dan cemuhan.
b. Saran
Dari berbagai pemaparan penulis, baik dari tafsir-tafsir para mufasir diatas, penulis mengajak kepada kita semua agar menjauhi perbuatan menghina antara sesama. Sebab dengan perbuatan menghina tersebut dapat berakibat buruk bagi kita sesama muslim dan hanya akan menimbulkan permusuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Jilid XXVI. Semarang: CV. Toha Putra, 1989
A.W. Munawwir, “Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Lengkap”,. Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997
Bunga Rampai 4, “Bahasa yang Baik”,. Sumber dari Republika
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXVI Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1982
http://notok2001.blogspot.com http://www.brunet.bn/gov/mufti/irsyad/pelita/2003/ic33_2003.htm
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid-2. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2006
Teungku Muhammad Hasbi Ask Shiddiqy, “Tafsir An-Nur”, Jilid V. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1995
Tim UIN, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid IX,. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1990
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 13. Jakarta: Lentera Hati, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar