Senin, 04 Januari 2010

Qawaid Fiqhiyah

KAIDAH YANG BERKAITAN DENGAN
ADAT KEBIASAAN

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Adat adalah sutu aturan sosial yang sudah ada sejak zaman nenek moyang atau sesuatu yang dikerjakan dan diucapkan secara berulang-ulang sehingga dianggap baik dan diterima oleh akal sehat. Kita tahu bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang Flexibel dan tidak menutup kemungkinan akan adanya lapangan ijtihad.
Adapun kajian adat dalam Islam yaitu, ‘Urf. Dalam hal ini para ahli Ushul Fiqh mendefinisikan bahwa adat dan ‘Urf itu sama. Hanya saja, ada sedikit perbedaan diantaranya yaitu ‘Urf sebagai tindakan atau ucapan dikenal dan diangap baik serta diterimaoleh akal sehat. Dilihat dari pemahaman tersebut bahwa bisa dikatakan dari pemahaman adat adalah bahasa Indonesianya ‘Urf dan pemahaman hukum adat dari kalangan yang memakainya hanya terbatas pada satu komunitas atau masyarakat tertentu saja. Sedangkan ‘Urf adalah bahasa Arabnya dan juga lebih luas diterima dan lebih banyak diketahui oleh masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN



A. Kaidah Pokok Tentang Adat Kebiasaan

Salah satu sumber hukum Islam setelah tidak ditemukan ketentuannya secara tekstual baik dalam Al-Qur'an maupun dalam Al-Hadits adalah adat atau 'urf yang baik. Adat atau 'Urf yang baik adalah suatu yang telah berlaku dikalangan Muslim baik berupa perkataan atau perbuatan yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, tidak menimbulkan kesempitan dan kesulitan.
Kaidah pokok tentang adat kebiasaan adalah:


"adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum"
Menurut Al-Jurjany:
Al-'aadah ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus.
Al-'Urf adalah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang jiwa merasa tenang dalam mengerjakannya, karena sejalan dengan akal (sehat) dan diterima oleh tabiat (yang sejahtera).
Menurut Abdul Wahab Kholaf:
Al-'Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari: perkataan, perbuatan atau (sesuatu) yang ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan Al-'Adaah. Dan dalam bahasa ahli syara' tidak ada perbedaan antara Al-'Urf dengan Al-'Adaah.
Dari pengertian diatas dapat dipahami bahwa Al-'Urf dan Al-'Adaah adalah searti, yang dapat berupa perbuatan atau perkataan.
Keduanya harus betul-betul telah berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal. Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat.
Macam-macam 'urf:
'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya. 'urf terbagi kepada:
a. 'Urf Qauli
Ialah 'Urf yang berupa perkataan' seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan).
b. 'Urf amali
Ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jua beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara' membolehkannya.

Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf, terbagi atas:
a. 'Urf shahih
Ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'.

b. 'Urf fasid
Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'urf terbagi kepada:
a. 'Urf 'âm
Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.
Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/masyarakat yang dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW. Artinya:
"Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba.
Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.

b. 'Urf khash
Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.
Para Ulama sepakat menolak 'Urf Fasid (adat kebiasaan yang salah) untuk dijadikan landasan hukum. Pembicaraan selanjutnya adalah tentang 'Urf Shahih. Menurut hasil penelitian Al-Tayyib Khudari Al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqh di Universitas al-Azhar Mesir dalam karyanya al-Ijtihad fi ma la nassa fih, bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan 'urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi'iyah. Menurutnya, pada prinsipnya mazhab-mazhab besar fiqh tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam dan rinciannya terdapat perbedaan diantara mazhab-mazhab tersebut. Sehingga, 'urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan di kalangan ulama.

B. Dasar Pengambilan dalam Nash (Al-Qur'an dan Sunnah)
Sebagian ulama berpendapat bahwa dasar kaidah diatas adalah
1. Firman Allah SWT:
       
"Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh". (Q.S. Al-A'raf: 199)

2. Perkataan 'Abdullah bin Mas'ud r.a:





"... Dari Abdullah bin Mas'ud r.a., ia berkata: Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula menurut pandangan Allah dan apa yang dipandang jelek menurut kaum muslimin, jelek pula menurut kaum muslimin, jelek pula menurut pandangan Allah."

Menurut Abu Zahra, perkataan Abdullah bin Mas'ud tersebut baik dilihat dari segi pengungkapannya maupun dari tujuannya menunjukkan bahwa setiap perkara yang telah mentradisi dikalangan kaum muslimin dan dipandang sebagai perkara yang baik, maka perkara tersebut dipandang baik juga oleh Allah. Penentangan terhadap tradisi tersebut akan mendatangkan kesempitan dan kesulitan, padahal dalam syari'at Islam hal tersebut harus dihindari sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Hajj ayat 78:
      
"... Allah sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama sesuatu kesulitan ..."
Oleh karena itu, lanjut Abu Zahra, ulama Hanafiyah dan Malikiyah menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan adat atau 'urf yang baik sama dengan yang ditetapkan berdasarkan syara'. Sedangkan ulama Syafi'iyah menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan oleh 'urf yang baik sama dengan yang ditetapkan oleh nash.

C. Aplikasinya Dalam Contoh
Diantara perbuatan yang hukumnya oleh Rasulullah SAW ditetapkan berdasarkan adat ialah seperti yang diterangkan hadits:
"Ketika Nabi SAW datang di Madinah, mereka (penduduk Madinah) telah (biasa) memberi uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua tahun".
"Maka Nabi bersabda: Barangsiapa memberi uang panjar pada buah-buahan, maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang trtentu, timbangkan yang tertentu dan waktu yang tertentu".
Maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara' dalam muamalah seperti dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasamanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan dasar hukum, sehingga seandainya terjadi perselisihan pendapat diantara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pada adat kebiasaan atau 'urf yang berlaku. Demikian pula dalam munakahat seperti tentang banyaknya mahar, atau nafkah, juga harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlaku. Sedangkan adat kebiasaan yang berlawanan dengan nash-nash syara' atau bertentangaan dengan jiwanya seperti kebiasaan suap menyuap, disajikannya minuman keras dan sarana perjudian dalam pesta-pesta atau dalam resepsi, tentu tidak boleh dianggap/dijadikan dasar hukum.
Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqaha menyatakan:
"Semua yang datang dari syara', secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada urf".

D. Kaidah-kaidah Lainnya yang Berkenaan dengan Adat Kebiasaan
1. Kebiasaan yang Dipertimbangkan


"Adat yang dipertimbangkan adalah yang biasa terjadi bukan yang jarang terjadi".
Kaidah ini mengandung arti bahwa adat yang dapat dipertimbangkan sebagai dasar penetapan hukum adalah adat yang atau sering terjadi, sehingga adat yang biasa terjadi harus didahulukan apabila bertentangan dengan adat yang jarang terjadi. Contoh penerapan kaidah ini dalam fiqh jinayah, misalnya dalam penetapan minuman yang memabukkan. Sesuatu minuman dianggap khamr karena minuman tersebut biasaanya memabukkan. Walaupun ada orang yang tidak mabuk dengan minuman tersebut, kenyataannya ini tidak dapat dijadikan pertimbangan hukum karena pada asalnya minuman tersebut memabukkan bagi sebagian besar orang.

2. Adat Dipertimbangkan Menurut Keadaan


"Tidak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan keadaan".
Kaidah ini mengandung arti bahwa hukum dapat berubah apabila keadaan yang menjadi dasar pembentukan hukum tersebut berubah. Menurut Shubhi Mahmashani, hukum yang berubah tersebut adalah ijtihadiyah yang didasarkan atas maslahah dan adat.
Contoh penerapan kaidah diatas dalam fiqh adalah dalam masalah eksekusi qishash atau hukuman mati. Pada masa rasulullah SAW eksekusi qishash atau hukuman mati, alat yang digunakan adalah pedang dengan cara menebas leher si terhukum. Sejalan dengan kemajuan teknologi, eksekusi qishash dapat dipertimbangkan dengan menggunakan alat yang lebih cepat mematikan dan mengurangi rasa sakit, misalnya dengan senjata api.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kaidah pokok tentang adat kebiasaan adalah:
"adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum"

Kaidah-kaidah Lainnya yang Berkenaan dengan Adat Kebiasaan:
1. Kebiasaan yang Dipertimbangkan
"Adat yang dipertimbangkan adalah yang biasa terjadi bukan yang jarang terjadi".
2. Adat Dipertimbangkan Menurut Keadaan
"Tidak dapat diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan keadaan".

B. Saran

Dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan berbagai macam betuk adat kebiasaan yang kita temukan. Kita sebagai mahasiswa syariah yang telah mengetahui kaidah tentang adat kebiasaan, tentu haruslah bisa membedakan mana kebiasaan yang sesuai dengan syarak dan mana yang tidak. Sehingga kita tidak terjebak dalam kebiasaan yang salah. Dan tentu kita setelah mempelajai kaidah yang berkaitan dengan adat ini juga harus bisa memberikan penerangan bagi masyarakat jika menemukan kebiasaan yang tidak sesuai dengan syariat.

DAFTAR PUSTAKA


DR. Jaih Mubararok, M.Ag., dan Enceng Arif Faizal, S.A.g., Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam),. Jakarta: Pustaka Bani Quraisy, 2004

Drs. H. Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh (Al-Qowa'idul Fiqhiyyah),. Jakarta: Kalam Mulia, 1996

http://bhell.multiply.com/reviews/item/86

Prof. Dr. H. Satria Effendi, M. Zein, M.A., Ushul Fiqh., Jakarta: Kencana, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar